• 18/08/2019

Jejak Ekologi Santri

oleh : Rofik Husen

Kejadian bencana ekologi yang melanda negeri ini telah menjadikan meningkatnya anggaran belanja negara dan anggaran belanja rakyat.

Nilai yang tidak sebanding dengan pendapatan negara yang didapat dari upaya eksploitasi yang berkontribusi pada bencana ekologi.

Negara ini akan segera menuju kebangkrutan bila defisit ekologi tidak tertangani dengan segera.

Jejak ekologi, sebutan sederhana bagi ecological footprint, merupakan satu sistem yang mengukur seberapa banyak tanah dan air yang diperlukan populasi manusia untuk menghasilkan sumber yang mereka habiskan dan menyerap limbah yang dihasilkannya.

Jejak ekologi tak pernah lagi menjadi sebuah acuan negara dalam proses pembangunan dengan melihat neraca aset-aset alam (ekologi).

Pada tahun 2001, dunia telah mengalami defisit dalam neraca ekologi, yang pada saat yang sama Indonesia masih memiliki surplus ekologi.

Namun melihat trend kecenderungan yang ada, terlihat jelas bahwa Indonesia sedang menuju defisit ekologi, dimana terjadi penurunan kapasitas biologi setiap tahun.

Jejak karbon adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh suatu organisasi, peristiwa (event), produk atau individu.

Emisi karbon (CO2) yang kita hasilkan berasal dari berbagai aktifitas sehari-hari seperti penyalaan lampu dan peralatan listrik, pola makan, dan cara bepergian.

Berdasarkan perhitungan para ahli, saat ini diperlukan waktu satu tahun dua bulan untuk bumi dalam melakukan regenerasi apa yang dikonsumsi penduduk dunia dalam satu tahun.

Ini menunjukkan telah semakin dekat kehilangan sumberdaya pendukung kehidupan akibat ketidakseimbangan konsumsi manusia dibanding dengan kemampuan alam untuk menyediakan sumberdaya.

Greenpeace baru saja mendaftarkan Indonesia agar diakui sebagai pemegang rekor dunia dalam percepatan pengurangan luasan hutan.

Bila Departemen Kehutanan melaporkan telah terjadi kehilangan hutan 3,8 juta hektar setiap tahunnya pada tahun 2000 hingga tahun 2003, maka bisa jadi saat ini kehilangan hutan setiap tahunnya semakin berkurang, yaitu berkisar 2,9 – 3,1 juta hektar setiap tahun, namun bukan berarti luasan hutan yang tersisa masih akan mampu mendukung kehidupan manusia di dalam dan sekitarnya.

Percepatan hutan tanaman industri, perkebunan besar dan pertambangan, secara nyata telah menghilangkan lahan berpepohonan (hutan) secara meluas dengan sangat cepat.

Bila pada masa 1967-1989 kebakaran hutan lebih disebabkan karena alam, maka pada era 1990 hingga saat ini, kebakaran hutan dan lahan yang meluas lebih disebabkan oleh pembukaan lahan untuk hutan tanaman industri dan perkebunan besar.

Kondisi ini menjadikan semakin cepatnya terjadi pengurangan luasan hutan Indonesia.

Di wilayah perairan (danau, sungai dan lautan), semakin meningkatnya limbah-limbah industri telah memicu semakin berkurangnya ikan dan biota perairan lainnya yang selama ini menunjang kehidupan manusia.

Air asam tambang beserta dengan cairan kimia yang dipergunakan dalam proses pertambangan, perkebunan besar dan hutan tanaman industri telah pula menambah ketidaknyamanan ikan untuk tetap bisa bertahan hidup dan berkembang biak.

Ditambah dengan industri bubur kertas dan kertas, beserta industri pengolahan lainnya, yang belum memiliki unit pengolahan limbah yang baik, semakin memperparah kondisi ekosistem perairan.

Sementara itu, pada lahan produktif pertanian, perkebunan rakyat dan perikanan, luasan lahannya semakin menyempit akibat penguasaan tunggal oleh kelompok pemodal atas nama proses pembangunan. Baik untuk kepentingan perumahan mewah, pertambangan, perkebunan besar, kehutanan maupun kepentingan wisata.

Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan sebagian besar sumber pangan harus dipenuhi dari wilayah lain, termasuk dengan melakukan impor.

Di sisi pengguna, semakin tingginya konsumsi dari manusia diakibatkan terjangan kepentingan industri, dimana setiap melangkahkan kaki tak akan mampu lagi melepaskan diri dari advertising yang membujuk untuk terus melakukan konsumsi secara berlebih.

Gaya hidup manusia digiring ke arah konsumerisme.

Semakin banyak pula penggunakan produk yang tidak diperlukan, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah barang yang tak tergunakan (sampah).

Lebih parah lagi, sistem yang dibangun dalam proses pembangunan juga tak pernah memperhatikan efisiensi dan efektifitas. Misal saja teknologi nir-kertas hingga saat ini masih harus kalah bersaing dengan penggunaan sistem kerja yang menggunakan banyak kertas.

Mulai dari selembar kertas disposisi (rujukan) hingga mekanisme perijinan yang menghabiskan berjuta ton kertas setiap tahunnya, yang akan berimbas pada semakin meningkatnya penebangan pepohonan di kawasan hutan, atau bila di sekolah, masih banyak sekolah yang melaksanakan kegiatan ujian berbasis kertas.

Penggiringan gaya hidup lainnya adalah dengan menghilangkan transportasi publik massal dan memberikan ruang yang luas kepada publik untuk memperoleh kendaraan pribadi secara mudah, walau menjadi tak murah.

Perusahaan penyedia alat transportasi berbahan bakar sangat difasilitasi untuk bisa hadir di negeri ini, sementara alat transportasi publik massal tidak pernah disiapkan untuk menjadi lebih baik. Selain meningkatkan kebutuhan akan bahan pembuat alat transportasi, kondisi ini juga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan bahan bakar fosil.

Ketika tak ada lagi air bersih, ikan di sungai, padi di sawah, hingga tak ada lagi buah-buahan di pepohonan, mungkin baru akan menyadarkan penghuni bumi saat ini untuk tidak berbuat yang merugikan bagi alam.

Bahkan pelayan publik (pemerintah) mungkin belum juga akan tersadarkan, hingga tidak ada lagi rakyat yang akan dilayaninya karena kelaparan, keracunan dan bencana ekologi.

Bila tidak dilakukan upaya perbaikan dalam memanfaatkan aset alam saat ini, maka bisa jadi penghancuran kehidupan akan terjadi lebih cepat dari yang terbayangkan.

Perlombaan untuk bertahan hidup akan terjadi. Persengketaan antar umat manusia bukan lagi masalah kebanggaan semata, namun hanya demi memperebutkan setetes air bersih untuk diminum, sebutir beras untuk ditanak ataupun demi selembar tissue untuk menyeka keringat.

Etika kehidupan harus kembali dikedepankan dalam ruang bijak terhadap alam. Agar kemudian alam tak lagi memusuhi kehidupan manusia. Agar alam mampu menyediakan kebutuhan seluruh manusia. Juga bagi alam agar mampu terus beregenerasi dengan lebih baik.

Salah satu komponen yang harus diajak berkontribusi dalam penanganan bencana ekologi adalah santri.

Siapkah para santri…. (/RH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *