
Keanekaragaman Hayati
oleh : Rofik Husen
Bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang utuh adalah bangsa yang baru, sehingga masih limbung dalam pencarian jati dirinya.
Betul bahwa bangsa Indonesia merdeka sejak tahun 1945, hampir sama dengan negara-negara maju di Asia Tenggara, bahkan termasuk paling dulu merdeka bila dibanding Malaysia dan Singapura, namun sejak 1945 sampai tahun 1998, sejatinya bangsa Indonesia belum merdeka karena masih terjadi proses pembodohan bangsa melalui kekuasaan dimulai dari Orde Lama sampai Orde Baru.
Bangsa Indonesia mulai menemukan jati dirinya sejak tahun 1998 atau sejak reformasi digulirkan.
Sejak saat itulah, proses pencarian jati diri dimulai yang dimulai dari peningkatan status ekonomi.
Sayangnya, peningkatan status ekonomi oleh setiap penguasa wilayah, tidak disertai dengan pemahaman yang benar dalam memandang lingkungan, sehingga segala cara dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan individu, golongan atau masyarakat, tetapi dengan cara mengeksploitasi seluruh sumber daya alam yang tersedia tanpa berfikir keberlanjutan dari sumber daya alam tersebut yang dampak langsungnya adalah kehilangan keanekaragaman hayati yang ada di wilayah tersebut.
Contoh kasus adalah pengerukan batubara di wilayah Kalimantan yang hanya memikirkan keuntungan materi semata dengan mengorbankan pohon serta hewan yang sebelumnya tinggal di daerah tersebut.
Jejak kerusakan yang ditinggalkan oleh batubara tidak berhenti di saat pembakarannya.
Di ujung rantai kepemilikannya, terdapat pertambangan batubara yang ditinggalkan setelah dieksploitasi habis, limbah pembakaran batubara, dan hamparan alam yang rusak tanpa pernah akan bisa kembali seperti sediakala.
Pertambangan yang ditinggalkan pasca dieksploitasi habis, meninggalkan segudang masalah untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Lubang-lubang raksasa, drainase tambang asam, dan erosi tanah hanya sebagian dari masalah.
Hamparan alam yang rusak adalah adalah kondisi permanen yang tak akan pernah pulih, sekeras apapun usaha yang dilakukan untuk mengembalikannya.
Limbah pembakaran batubara sangat beracun, dan membahayakan kesehatan masyarakat, tembaga, cadmium dan arsenic adalah sebagian dari zat toksik yang dihasilkan dari limbah tersebut, yang masing-masing memicu keracunan, gagal ginjal, dan kanker.
Setiap rantai dalam siklus pemanfaatan batubara meyumbangkan kerusakan yang diakibatkan oleh energi kotor ini masing-masing dengan caranya sendiri.
Kerusakan ini nyata dan mematikan.
(http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/perubahan-iklim-global/Energi-Batu-Bara-yang-Kotor/)
Oleh karena itu, sebelum pemimpin pada khususnya dan masyarakat pada umumnya menyadari dan memahami pentingnya alam beserta keanekaragaman hayati yang ada disana, maka selama itu pula, KEHATI dan berbagai upaya penyelamatan lingkungan hanya akan menjadi wacana.
Perlu kerja keras dan kerja cerdas untuk menyadarkan pimpinan & masyarakat akan pentingnya lingkungan dan sumber daya alam yang sehat dan berkelanjutan.
Idealnya, dalam penyusunan strategis di bidang apa saja, termasuk Penyusunan Strategi pengelolaan KEHATI adalah melibatkan seluruh fihak dari level yang paling atas sampai level yang paling bawah. Hanya seringkali cara ini dianggap tidak efisien karena dipastikan akan menyedot anggaran yang besar.
Oleh karena itu, seringkali pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat membuat kebijakan sendiri dengan mengundang segelintir tenaga ahli yang dianggap pro dengan rencana pemerintah pusat tersebut, sehingga seringkali hasilnya tidak mencapai sasaran karena mendapat penolakan dari warga tempat proyek atau program tersebut dilaksanakan.
Oleh karena itu, menurut pendapat saya, butuh jalan tengah agar di satu sisi, penyusunan strategis dapat tetap dibuat dengan biaya seefisien mungkin, namun disisi lain warga masyarakat menyambut program tersebut.
Jalan tengah tersebut adalah :
– Pemerintah Pusat membuat Master Plan atas Strategi Pengelolaan KEHATI di seluruh wilayah RI
– Untuk pengelolaan yang bersifat lintas wilayah administratif, dibentuk lembaga ad hoc yang menjembatani birokrasi
– Menunjuk Lembaga Pendidikan Tinggi sebagai pengawas sekaligus konsultan untuk setiap program di wilayah tersebut
– Melakukan proses sosialisasi secara masif dan integral agar pemahaman warga di lokasi tempat program atau proyek dilaksanakan bersifat utuh sehingga mendukung keberadaan program atau proyek tersebut. (/RH)