
7 Warna Pelangi #3
Galunggung
oleh : Usep Sapulloh
“Dulu…“
Kang Saddam membuka pembicaraan, mengalihkan ajakanku padanya untuk ikut kelompok camping ke gunung Galunggung.
“Sebelum gunung Galunggung meletus, bentuknya begitu indah. Hmm…, mungkin seperti gunung Erebus di Antarktika, atau gunung Etna di Italia, atau boleh dikatakan mirip gunung Fuji di Jepang, atau gunung Hood di Oregon Utara, Amerika Serikat.“
Jantungku berdegup-degup mendengar penuturannya. Kagum bercampur kesal, untung saja mulutku masih bisa dikendalikan. Agaknya lelaki berkumis baplang itu mengerti betul sejarah gunung Galunggung, bisa jadi iapun menguasai medan berat gunung itu. Itu sangat di luar perkiraanku, di balik fisiknya yang terlihat lemah, ternyata ia ’anak gunung’. Itu artinya aku akan kalah dalam persaingan kali ini. Sebagai lelaki penakluk gunung.
“Gunung Galunggung termasuk pegunungan Stratovolcano, pegunungan yang tinggi dan mengerucut. terbentuk dari lava dan abu vulkanik yang mengeras.“
Kang Ujang meneruskan deskripsinya tentang gunung Galunggung, ia mengepalkan tangan kanannya, jantan sekali.
“Banyak stratovolcano yang melampaui ketinggian 2500 meter, tercipta oleh subduksi lempeng tektonik. Erupsi membuat puncak gunung itu tinggal separuh. Menyisakan fakta pernah terjadi letusan yang sangat dahsyat. Galunggung….”
Puitis sekali kang Saddam bertutur. Indah, tapi menyakitkan, karena semakin membuktikan aku akan kalah dalam pertarungan ini. Oksigen di sekitarku terasa tersedot. Dadaku menjadi sesak. Itu berakibat aku semakin malas mendengarkan penuturan berikutnya. Kakiku hampir ngeloyor meninggalkannya, tapi aku penasaran jawaban atas ajakanku.
“Aku ikut!!!”
Jawaban mantapnya semakin menyesakkan dadaku. Kalau boleh, atau kalau tidak malu, aku ingin pingsan dulu. Saddam nyengir seperti biasa, sambil menutup kumis baplangnya. Ia agaknya puas telah membuatku merana.
Aku yakin, Dari awal Saddam sudah mencium aroma pertarungan di balik ajakanku. Ia tidak akan pernah mau kalah dariku. Baginya yang terpenting menerima tantanganku. Naik gunung Galunggung. Urusan mampu atau tidak, itu belakangan. Jika dilihat dari penuturannya tentang gunung Galunggung tadi, agaknya ia akan memenangkan pertarungan ini. Sempat terlintas dalam pikiranku untuk mengalah saja. Membatalkan rencanaku naik gunung bersama teman-teman sekelasku.
Tadinya, aku hanya bermaksud membalas tindakannya. Tega-teganya Saddam menaksir santri wanita yang kutaksir. Sebenarnya aku berharap Saddam tidak ikut sehingga skorku bertambah satu point. Jika Saddam menang dalam pertarungan ini, itu berarti akan menambah daftar kekalahanku. Ketua RG sudah ia kuasai, santriwati yang kutaksir telah ia renggut dariku, kini gelar lelaki penakluk gunung pun akan sebentar lagi akan disandangnya. Sedangkan aku hanya menang pada satu point saja, aku mendapat ranking 1 di kelas, sedangkan Saddam ranking 2. Skor 3-1 untuk Saddam.
Sejak impian kang Saddam untuk duduk gagah di peringkat satu pupus karena tersalip olehku, masalah apapun menjadi ajang persaingan di antara kami. Meskipun begitu, aku tidak rela jika pertarungan ini disamakan dengan perang Iran-Irak.
Kakiku siap melangkah, lunglai tidak bertenaga. Aku masih penasaran akan penjelasannya tentang gunung Galunggung yang sangat mengagumkan itu.
“Ini.”
Ia menyodorkan sebuah artikel tentang gunung Galunggung. Seperti biasa, ia nyengir sambil menutup kumis baplangnya. Aku geleng-geleng kepala, kecewa bercampur senang. Kecewa, karena ia telah membuatku terpesona. Senang, karena masih ada kemungkinan kang Saddam sebenarnya tidak sehebat yang kubayangkan.
* * *
Galunggung, namanya menggaung begitu agung, terdengar begitu sangar. Aroma mistis kadang dihubung-hubungkan dengan kemahadasyatan amukannya. Dulu, pada tahun 1822, Galunggung pernah meluluhlantakkan sebagian kota Tasikmalaya hingga menewaskan 4.011 jiwa, menghancurkan 114 desa. Kini, aku akan berbaring tidak jauh dari puncak kawah yang pernah membuat langit Tasikmalaya gelap selama seminggu.
Rrrrrrr….. rrrrr…….
Bumi tempatku berbaring terasa bergetar. Aktifitas gunung ini masih terasa hingga sekarang, meskipun letusannya sudah berhenti sepuluh tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu, beberapa santri, termasuk aku – tentu saja si Saddam tidak ikut, karena waktu itu ia belum masuk pesantren – mengisi liburan akhir tahun ajaran dengan melakukan camping. Gunung galunggung selalu menjadi tempat favorite kami. Dulu, kami naik dari arah Tasikmalaya, lalu turun melalui jalan yang sama. Kali ini, dua tahun kemudian, kami merencanakan trek yang sangat berbeda. Kami akan berangkat dari Tasikmalaya dan turun melalui wilayah Garut.
Lebih jelasnya, skenario perjalanan kami sebagai berikut: Pagi-pagi kami – beranggotakan 15 orang santri – berangkat dari arah Tasikmalaya melalui Ciawi, jalan kaki hingga ke puncak; jarak 200 meter dari bibir kawah, kami mendirikan tenda dan bermalam di sana; Setelah menikmati matahari terbit di ufuk timur, kami akan naik ke puncak gunung, lalu turun ke kawah; di sana kami akan mandi dan makan perbekalan kami; Setelah puas, kami akan pulang melalui jalan lain, memasuki wilayah Garut, menuju stasiun Cibatu; Perjalanan dari puncak gunung ke stasiun kecil itu bisa seharian; Kami akan menginap semalam di sana; Lalu besoknya, pagi-pagi buta kami akan berlompatan menjadi penumpang gelap pada kereta api pasir; Lalu turun di stasion Lengkong, Tasikmalaya. Skenario petualangan yang sangat indah, spektakuler dan tentu saja sangat hemat.
Rrrrrrr….. rrrrr…….
”Astaghfirullah!!!”
Saddam terperanjat, ia terbangun dari tidurnya. Dari siluet gerakan kumisnya yang tidak beraturan itu, aku yakin ia sedang komat-kamit melafalkan du’a-du’a.
”Kenapa kang?”
”Astaghfirullah!!!”
Ia istighfar untuk kedua kalinya. Kali ini tangan kanannya memegang dadanya.
”Tidak apa-apa.”
Aku yakin kali ini tersenyum, meskipun terpaksa. Itu kusimpulkan karena kulihat tangannya berusaha menutup kumisnya. Kebiasaan yang sulit diubah. Aku hanya bisa berprasangka positif saja. Mungkin ia tadi bermimpi sedang enak duduk-duduk di kursi ketua RG, lalu datang aku, menggoyang-goyangkan kursinya agar lengser dari jabatan ketua. Sangat kencang. Bersamaan dengan itu bumi bergetar.
Pikiranku melayang ke masa tahun delapan puluhan. Waktu itu, langit Tasikmalaya bergemuruh, terdengar beberapa kali dentuman, lalu pijaran api dan kilatan saling menyambar. Gunung Galunggung meletus untuk kesekian kalinya. Letusan terakhir yang kuingat, bertipe vulcanian vertical yang menghasilkan cendawan raksasa di angkasa, persis seperti letusan bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang pernah kulihat di buku pelajaran SD. Semburannya mencapai dua puluh kilometer, diikuti piroclastic yang menghujani Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Bandung, dan kota-kota lain dalam radius sekitar seratus kilometer, bahkan hingga Jakarta.
Selama seminggu, siang di kota Tasikmalaya bagai malam tidak berbintang. Gelap. Sinar matahari hampir tidak dapat menembus pekatnya piroclastic yang terus berjatuhan dengan anggun seringan kapas. Mungkin, seperti hujan salju di film kartun yang pernah kutonton, katanya di kawasan Eropa. Bedanya, di sini saljunya berwarna abu, hangat, berbau belerang dan menyesakkan pernapasan. Sedangkan di Eropa sana, aku tidak tahu, karena belum pernah ke sana.
Bumi Tasikmalaya tertutup abu hingga puluhan sentimeter, bahkan di beberapa tempat tertutup hingga di atas satu meter.
Bayangan paman berkelebat. Aku tersenyum.
“Sep! Ayo main!”
Kantong kresek hitam menutupi kepalanya. Jas plastik transparan menutupi seluruh badannya. Ia membuat jas sendiri dari plastik bekas bungkus gulungan kain. Tiap bagian jas hanya disambung dengan lakban. Berantakan sekali.
“Nanti mamah marah.”
“Sayang lho Sep. Belum tentu seumur hidup kamu bisa mengalami ini. Main di bawah hujan debu.”
Aku terdiam. Paman betul, gunung Galunggung belum tentu akan meletus lagi di tahun depan. Bahkan mungkin tidak akan kualami lagi dalam seumur hidupku. Aku menggaruk-garuk dagu, mengikuti gayanya jika sedang berpikir keras. Aku benar-benar sudah terobsesi dengan seluruh cara berpikir dan gayanya.
“Ayo cepetan. Nih jasnya sudah mamang siapkan!”
Aku meraih jas asal-asalan itu. Tiba-tiba,
“Asep! Masuk!”
Suara yang sangat kukenal langsung membuyarkan semua anganku untuk main di bawah hujan abu hangat berbau belerang itu. Perintah ibuku tidak pernah bisa ditawar lagi.
Paman pergi, ia kecewa. Tidak lama kemudian, ia sudah asyik bermain di bawah hujan debu halus seringan kapas itu. Kulihat ia menggotong geribik, alat jemur padi yang terbuat dari anyaman batang bambu itu ia gelar di tengah lapang. Alat itu digunakan untuk menampung abu yang berjatuhan. Selanjutnya ia masukkan abu vulkanik itu ke dalam karung bekas beras. Aku tidak tahu jenis permainan yang sedang paman mainkan. Belakang aku baru tahu, abu itu akan ia gunakan untuk membangun rumah, atau setidaknya untuk tanggul kolam ikan.
Aku hanya manyun di balik jendela, sementara paman asyik bermain debu gunung Galunggung.