• 11/09/2019

7 Warna Pelangi #9

Keputusan Bodoh

oleh : Usep Saepulloh

Masa studiku di pesantren Persatuan Islam Tasikmalaya tinggal satu tahun lagi. Begitu libur panjang akhir tahun ini selesai, aku sudah berada di kelas tiga mu’allimien – setingkat aliyyah –. Waktu yang tidak tepat untuk memutuskan pindah sekolah. Karena itu aku harus memiliki beberapa alasan kuat untuk memutuskan pindah ke pesantren.

Pertama, aku sudah lelah berkompetisi terus dengan Saddam, apalagi ajang kompetisi sudah melebar ke hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran.

Kedua, harus kuakui, aku bukan anak cerdas dengan IQ di atas rata-rata, aku hanyalah anak biasa yang memaksakan diri untuk menjadi pintar. Kurasa, orang lainpun bisa melakukan seperti yang aku lakukan. Tapi taruhannya begitu besar, hobi melukisku harus kutinggalkan dan insting bisnisku harus kugadaikan. Hati kecilku selalu rindu agar seperti teman-temanku yang lain. Tetap belajar serius, tapi hobi dan kegiatan-kegitan lain tetap dilakukan.

Setelah kupikir baik-baik dan kupertimbangkan matang-matang, tidak mungkin aku menyampaikan kedua alasan tadi. Bisa dibayangkan, jika kedua alasan tadi disampaikan, apa kata dunia? Di saat semua orang membanggakan prestasi, di saat mereka menganggap orang pintar akan memiliki masa depan cerah, aku malah menanggalkan semua itu, aku malah mengorbankan masa depan yang akan cerah itu. Betapa bodohnya aku di pandangan mereka.

Aku harus mencari alasan yang logis, yang bisa diterima oleh semua kalangan yang terkait denganku. Mulai dari orang tua, teman, para ustadz, pimpinan pesantren, penjaga kantin, atau bahkan kucing sekalipun. Akhirnya kudapatkan alasan ketiga yang hebat.
“Aku ingin menimba pengalaman di Pesantren Bentar.”

Mungkin inilah alasan diplomatis terbaik yang akan kulakukan.

Biarlah masing-masing orang memahaminya berbeda-beda. Tidak mengada-ada, dan tidak terlihat bodoh. Tapi khusus Saddam, rivalku itu, aku memiliki rangkaian kalimat alasan yang akan membuat mulut di bawah kumis baplangnya itu menganga lebar, terkagum-kagum. Aku akan sangat menikmati pemandangan itu.
“Pesantren Bentar adalah tempat nyantrinya orang-orang hebat dari berbagai belahan Nusantara, aku pindah ke sana untuk mencari ajang kompetisi yang lebih besar.”
Hebat bukan? Aku yakin Saddam akan terpana.

Dua alasan tadi memang benar adanya, sedangkan alasan yang kusampaikan pada Saddam hanyalah guyonan, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku tidak akan pernah berhenti berkompetisi dengannya. Tapi, guyonan itu malah membekas di hati. Bagai sebuah kutukan lidah yang tak bertulang. Tidak terlintas dalam otakku sebelumnya. Muncul sedikit terobsesi untuk mengalahkan bintang kelas dari Pesantren Bentar.

Rencana kepindahanku ini adalah skenario penyelamatan diri yang paling hebat dalam sejarah studiku. Bisa kawan bayangkan, jika aku berkompetisi terus dengan Saddam, bisa saja aku kalah, bahkan bernasib sama seperti Munawarah. Santri wanita yang nilainya terpuruk justeru di semester akhir, padahal semester sebelumnya ia selalu menduduki ranking satu. Jika aku pindah lalu rankingku terpuruk, aku tidak akan malu.

Sebenarnya masih ada satu alasan lagi, alasan inilah yang memiliki hak veto untuk memutuskan pindah atau tidaknya aku ke pesantren Bentar. Tapi, sekarang aku tidak bisa menyebutkan alasan ini sepada siapapun. Biar aku dan Allah saja yang tahu.

* * *

Setelah berdiskusi panjang antara aku dan bayanganku, khayalku, cita-citaku, hobiku, egoku, dan semua kepribadianku yang memiliki kepentingan dalam skenario kepindahan yang bersejarah ini. Akhirnya libur akhir tahunpun berakhir. Pada hari pertama belajar kusampaikan rencana kepindahanku pada orang-orang terkait.

Ayah,
Sebelumnya aku berkhayal, ayah akan marah, lalu aku diboikot, tidak dikasih uang jajan lagi, karena aku ngotot ingin pindah, akhirnya ayah mengusirku dari rumah. Sebuah khayalan yang tidak patut ditiru, karena Allah akan memberikan pada kita sesuai yang kita pikirkan dan kita sangka. Untungnya, ayahku bukan tipe orang yang ekspresif berlebihan seperti itu. Ayahku yang baik hati itu bersikap datar saja, ia hanya ingin puteranya pintar, itu saja. Meskipun tanpa jamu pahit pencerdas. Ayah tersenyum dan mengiyakan permintaanku.
“Setahun lagi kamu lulus. Sebaiknya pikir-pikir dulu.” Pesan ayah.

Ibu,
Ibuku menangis, karena ini baru pertama kalinya memiliki putera yang akan merantau jauh dari rumah. Padahal Tasikmalaya – Garut bisa ditempuh dalam waktu dua jam, paling lama. Tapi ujung-ujungnya.
“Pasti biayanya mahal ya.”

Adikku,
Ia tidak peduli dengan rencana kepindahanku. Karena ada atau tidak ada aku di rumah, tidak punya pengaruh sedikitpun padanya. Sejak aku menjadi bintang kelas, aku jadi makhluk yang tidak bisa bersosialisasi. Tidak ada waktu lagi untuk bermain dengan adikku.
“Kalo bisa, pulangnya setahun sekali ya” Pesannya.

Pimpinan pesantren,
Selain pimpinan pesantren, beliau guru untuk pelajaran Ilmu Falaq, atau ilmu hisab, ilmu hitung untuk mencari dan menentukan awal bulan, gerhana bulan dan gerhana matahari. Menurut beliau, dari seluruh santri di pesantren, hanya tiga orang yang dianggap mampu menguasai ilmu itu. Salah satunya aku. Bahkan Saddam pun tidak pernah bisa menguasai ilmu itu, karena memang cukup rumit. Pada point ini, Saddam tidak pernah bisa mengalahkanku.
“Lalu, siapa yang akan mewarisi ilmu falaq?”

Aku tertunduk, waktu itu hanya tinggal aku yang berpotensi. Furqon, kandidat pertama, setelah lulus pesantren memilih bisnis. Agus, santri cerdas itu memilih menikah muda, ia akhirnya meninggalkan bangku pesantren. Ilmu Falaq, tentu tidak menjadi kebanggaan lagi, karena Ilmu Falaq bukanlah ilmu yang bisa menghasilkan banyak uang.

Ilmu ini hanya bisa diperdalam oleh orang yang memiliki dedikasi tinggi untuk kepentingan umat. Tapi, ilmu ini jangan disepelekan, karena setiap tahun, orang-orang yang ahli dalam ilmu ini akan menjadi tamu kehormatan Departeman Agama Indonesia dalam menentukan awal bulan Ramadlan dan Iedul Fitri.

Pimpinan pesantren sangat sedih dan terlihat kecewa, menurut beliau, di Pesantren Bentar tidak diajarkan Ilmu Falaq, karena ilmu ini bagian dari pelajaran extrakurikuler. Ilmu falaq ini hanya diajarkan di pesantren Persatuan Islam Tasikmalaya dan Cianjur.

Saddam,
Rangkaian kalimat yang sudah kurencanakan tadi gagal total, ia tidak menganga sedikitpun. Aku seharusnya belajar banyak pada saat Eva Fahiroh – Bintang kelas sebelumku – pindah sekolah. Waktu itu kumisnya bergerak tidak karuan, senyum tiada henti. Kali ini reaksi Saddam sama saja. Sangat menyebalkan. Agaknya ia senang sekali aku pindah. Aku yakin, Saddam pasti akan tersenyum selama seminggu dengan tangan kanan menutup kumis baplangnya, bahkan ketika tidur.

Sulaeman,
Teman dekatku itu sangat kecewa, tidak menyangka aku akan memilih jalan pintas seperti ini dalam menyelesaikan masalah.
“Lebih baik pindah sekolah daripada bunuh diri”
Aku mengelak, Sulaeman manyun.
Layaknya teman dekat, terkadang aku membicarakan rahasia pribadiku padanya. Sulaeman tahu betul alasan kepindahanku yang sebenarnya, bukan alasan pertama, kedua, ataupun ketiga. Tapi, ia tahu alasan yang memiliki hak veto itu. Akhirnya sedikit ia berkomentar atas kepindahanku.
“Bodo maneh, Sep.”

* * *

Satu hal yang sangat kukhawatirkan waktu itu. Saddam ikut-ikutan pindah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *