
7 Warna Pelangi #36
Malam Terakhir
oleh : Usep Saepullah
Tangan Irvan cekatan menggunting lembaran kertas scotlite berwarna kuning, jemarinya terlihat lihai memainkan gunting, mengikuti lekukan sudut dan lubang huruf, selihai ia menyanyikan lagu ‘Begadang’ yang mengalun dari tape recorder kecilnya.
Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya
Begadang boleh saja, kalau ada perlunya
Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya
Begadang boleh saja, kalau ada perlunya
…..
Pikiranku melayang ke masa SD dulu. Film-film bang Haji Rhoma Irama termasuk dalam jajaran film favoritku selain Megaloman, Gaban dan Google V. Setiap pertunjukan layar tancap di kampungku memutar film bang haji, aku selalu setia hadir, meski harus melewati jalan gelap yang disebelah kirinya pekuburan umum. Sejak masuk pesantren, semua kenangan manis itu seolah terhapus dan tidak perlu diingat-ingat lagi, karena aku harus sibuk berkutat dengan pelajaran yang menumpuk.
“Sep, kamu pernah begadang?”
Pertanyaan Irvan langsung membuyarkan seluruh lamunanku. Aku tersenyum lalu kuputar otak, kuingat masa kecilku lagi. ‘Begadang, begadang, begadang’ kuaduk-aduk arsip memori masa menyenangkan itu. Rasanya aku pernah begadang, tapi kapan?
Ketika hampir putus asa, aku ingat, justeru aku begadang sehabis nonton film bang Haji yang berjudul begadang ini. Film selesai jam dua belas malam, pulangnya aku dan dua temanku harus berlari ketakutan ketika melewati pekuburan umum yang sering terlihat penampakan pada malam jum’at, padahal waktu itu malam minggu. Aku bahkan lari sambil memejamkan mata saking takutnya. Agaknya aku juga bingung, kenapa syethan suka pilih-pilih hari.
“Pernah! sampai jam satu”
Irvan tersenyum, gigi putihnya sangat kontras di antara kulitnya yang gelap. Akupun tersenyum mengingat kejadian itu lagi. Waktu itu akhirnya kami memilih tidur di pos ronda, jika pulang ke rumah tidak mungkin dibukakan pintu. Kami tertidur pulas hingga dibangunkan jam enam pagi oleh kang Maman, tukang bubur yang biasa mangkal di depan pos ronda. Waktu shalat shubuh sudah lewat, hari sudah mulai terang. Paniknya aku waktu itu. Aku tidak shalat shubuh, karena ilmuku belum sampai ke urusan kesiangan shalat shubuh atau mungkin waktu pelajaran tentang shalat shubuh aku tidak hadir.
“Itu mah bukan begadang atuh”
Aku manggut-manggut, menurut kamus hidupnya, seseorang bisa dikatakan begadang jika tidak tidur semalaman hingga shubuh menjemput. Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang sudah diteliti dan diakui para ahli, begadang adalah berjaga tidak tidur sampai larut malam. Ingat Van, sampai larut malam, bukan sampai shubuh. Kalau tidak percaya, coba buka Kamus mahal itu. Tapi kuakui, Irvan memang hebat, untuk urusan begadang ia punya kamus sendiri. Lalu apa sebutannya untuk yang tidak tidur sampai jam satu?
“Setengah begadang”
Jawabnya enteng ketika kutanyakan, ia nyengir.
“Sep, percaya tidak? Aku pernah tidak tidur tiga hari tiga malam.”
Aku terperanjat, Kulihat mimik mukanya, serius. Aku pernah mendengar cerita orang yang mampu tidak tidur berhari-hari, tapi baru kali ini aku berhadapan langsung dengan pelaku kejadian. Irvan Permana. Sebuah pertemuan yang tidak pernah kuimpikan.
“Ente serius?”
Irvan mengangguk. Aku geleng-geleng kepala, entah karena kagum atau merasa aneh dengan kelakuannya. Tapi sekali lagi kuakui, temanku ini memang hebat untuk urusan begadang. Ia memang pakarnya. Bang haji, penyanyi lagu begadang itu saja, pasti kalah. Lihat saja perlengkapan yang sudah dia siapkan.
Kupluk sudah bertengger di kepalanya.
Jaket tebal ia sampirkan di talang ranjang kayu, sepertiga akhir malam akan sangat dibutuhkan untuk mengusir dingin.
Tape recorder diletakkan di atas ranjang kayu, dekat telinganya. Kami duduk di lantai kamar beralaskan karpet hijau. Satu album lagu Rhoma Irama sudah mengalun dari sana, di sebelahnya dua album Rhoma lainnya menanti giliran, lengkap dengan cadangan empat buah baterai A3.
Radio kecil siap menggantikan rasa bosannya. Layaknya makanan, jika berlebihan pasti akan membuat bosan, bahkan muntah. Lagu pun begitu, makanya hati-hati dengan lagu bang Haji, kalau diputar berulang-ulang akan membuat muak dan muntah. Begitu kira-kira pesan tersirat dari persiapan begadang ini. Obatnya, selingi dengan siaran radio. Irvan memang jenius.
Termos besar berisi air panas, di sebelahnya satu plastik kopi bubuk hitam dan satu plastik gula pasir. Dua gelas kopi panas dengan masing-masing satu sendok dan tatakan, asap mengepul dari dua gelas kopi panas itu. Kenapa harus dua gelas? Apakah syarat sukses begadang harus menyediakan dua gelas? Itu yang akan kutanyakan nanti.
“Cuma ingin tahu saja rasanya tidak tidur berhari-hari.”
Itu alasannya ketika kutanyakan ia melakukan itu. Kupikir, temanku ini sudah agak saraf jika ia bereksperimen seperti itu. Seharusnya ia mencoba dulu pada monyet, atau setidaknya yang lebih murah, tikus putih, baru dirinya. Entah termasuk perilaku macam apa temanku ini.
“Tadinya mau lebih dari tiga hari, tapi aku tidak sanggup.”
Tuh kan bener, dia memang benar-benar saraf. Tapi aku kagum, ia layak diberi gelar master of begadang.
Ketika kutanyakan akibat tindakan nekadnya itu.
“Pusing, pening, mukaku pucat seperti kurang darah. Setiap kaki kuinjakkan, bumi serasa bergoyang. Untuk menormalkan kondisi badanku, aku harus tidur lebih dari lima belas jam setiap hari selama seminggu. Tapi efek peningnya masih berasa sampai sebulan”
Aku berdecak kagum. Kali ini bukan untuk Irvan, tapi untuk bang Haji, dalam otakku seolah ia bersabda :
“Kalau terlalu banyak begadang
Muka pucat karena darah berkurang
Kalau sering kena angin malam
Segala penyakit akan mudah datang
Darilah itu sayangi badan
Jangan begadang setiap malam”
Aku yakin, bang Haji pernah begadang. Karena, lagu-lagu bang Haji tercipta berdasarkan pengalaman pribadi. Tapi, aku juga yakin, bang Haji belum pernah begadang tiga hari tiga malam seperti yang Irvan lakukan. Jika pernah, pasti sudah ada lagu Begadang 3, atau Begadang 3 hari 3 malam.
“Kamu mau merasakan begadang?”
Irvan menyodorkan satu gelas kopi panas ke dekatku, dan satu gelas lagi ia tarik ke dekatnya. Aku tersentak, ajakan yang tidak pernah kuduga sebelumnya, dan aku baru paham maksud dua gelas kopi panas itu.
“Benar-benar begadang Sep, bukan setengah begadang, he he he”
Senyumnya itu ledekan buatku. Asal kamu tahu saja Van, aku masih berpegang teguh pada pendapat para ahli, bahwa yang pernah kulakukan itu adalah begadang, bukan setengah begadang. Tangan Irvan masih sibuk menggunting kertas scotlite, lalu mengkeluknya hingga menjadi sebuah huruf. Huruf A, kemudian L, lalu I, dan seterusnya hingga huruf-huruf tadi menjadi kata PERSATUAN ISLAM yang tersusun di lantai kamar kami.
“Gimana Sep?”
Tanyanya kembali, pandangannya masih tertuju ke barisan huruf itu. Lalu ia mengambil huruf D, ia julurkan tangannya menjauhkan huruf itu dari pandangannya, ia pejamkan sebelah matanya, seolah sedang meneliti, mengkaji huruf itu, mencari bagian-bagian yang belum sempurna. Huruf itu diputar lalu dibalik, lalu dengan satu gerakan, ia menghaluskan bagian yang kurang balance dengan gunting di tangan kanannya.
“Perfecto!”
Lagunya. Menyebalkan.
Aku belum bisa menjawab ajakan itu. Efek begadang sangat dahsyat. Aku teringat kembali kejadian tidur di pos ronda itu. Shalat shubuh sudah lewat. Akhirnya aku pulang, karena masih ngantuk kulanjutkan tidurku di rumah, pulas sekali, hingga menjelang ashar. Jika ibuku tidak memercikkan air di wajahku, shalat dzuhur pasti lewat juga. Itu baru efek begadang sampai jam satu. Jika sampai shubuh, pasti efeknya akan lebih dahsyat.
“Kudengar kamu mahir kaligrafi Arab.”
“Bukan mahir, tapi bisa.”
“Ya sama saja. Ayolah Sep bantu aku membuat kaligrafi Arab. Aku tidak begitu mahir kaligrafi Arab. Keahlian kamu sangat dibutuhkan untuk suksesnya acara besok.”
Aku mulai ragu.
“Coba kamu bayangkan Sep, Kaligrafi huruf Latin dan Arab dipadukan. Wuiih sangat indah Sep. Kamu tau Sep? Pada acara besok, Semua kamera akan tertuju ke atas panggung. Dan tau enggak Sep?, ”
Irvan menyeruput kopi bagiannya. Aku menunggu kelanjutan ucapannya.
“Background panggung itu adalah kaligrafi kita. Mereka mengabadikan karya kita Sep. Karya kita akan terpampang dalam photo kenangan teman-teman kita. Ingat Sep! karya kita! Karya kita!”
Semangat sekali ia mengucapkan kalimat itu. Benar-benar membakar semangatku untuk ikut berkarya. Mungkin itu alasan Irvan mau membuat dekorasi acara pernikahan atau sunatan dengan bayaran kecil. Kebanggaan dan kepuasan. Dan, tahu tidak? Sementara ini cita-cita Irvan tidak muluk-muluk, ia hanya ingin jadi tukang dekorasi.
“Oke, aku siap begadang!”
Akhirnya aku menyerah, selain ingin ikut berkarya, aku penasaran ingin merasakan efek begadang semalam suntuk. Di samping itu pengalaman begadang kali ini akan menjadi kisah bersejarah yang akan kuceritakan pada anak cucu kelak.
“Naaah, gitu dong!!”
Irvan tersenyum lebar sambil menggeserkan kopi panas bagianku lebih dekat lagi. Aku langsung menyambutnya, lalu menyeruput kopi itu sambil menunjuk tape recorder kecil yang masih menyenandungkan lagu Rhoma. Semangat!
“Oke, kita lanjut album Rhoma Irama berikutnya!”
“Bukaaan. maksudku, ganti radio!!! Bosennn!!!”
“Oooh”