
Taman Kota
Oleh : Rofik Husen
Gross National Happiness (GNH) Index atau Indeks Kebahagiaan Bruto saat ini dijadikan salah satu poin penilaian keberhasilan suatu pemerintahan.
Kebahagiaan Nasional Bruto (GNH) yang termuat dalam http://www.grossnationalhappiness.com/ dinyatakan sebagai the concept implies that sustainable development should take a holistic approach towards nations of progress and give equal importance to non-economic aspects of wellbeing.
Konsep ini menyiratkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus mengambil pendekatan holistik terhadap gagasan kemajuan dan memberikan peran yang sama pentingnya kepada aspek kesejahteraan non – ekonomi.
Konsep ini dijadikan landasan sebagai jawaban sekaligus perbaikan atas konsep pengukuran keberhasilan yang senantiasa menjadikan faktor ekonomi serta kemajuan teknologi sebagai dasar penilaian.
Konsep GNH melingkupi empat pilar, yakni good governance (pemerintahan yang baik), sustainable socio-economic development (pembangunan sosial-ekonomi yang berkelanjutan), cultural preservation (pelestarian budaya), dan environmental conservation (konservasi lingkungan).
Konsep ini dimunculkan oleh Jigme Singye Wangchuck, seorang Raja dari Bhutan guna menentukan indikator dalam mengukur kualitas hidup atau kemajuan sosial secara lebih holistik daripada sekedar capaian ekonomis seperti Produk Domestik Bruto (PDB).
Pertumbuhan ekonomi tidak selalu mengarah pada kepuasan warga negara, ada hal lain yang lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi, yakni kebahagiaan.
Empat pilar ini kemudian diperinci menjadi sembilan domain, yang meliputi :
– Psychological Wellbeing (kesejahteraan psikologis)
– Health (kesehatan)
– Education (pendidikan)
– Time Use (penggunaan waktu)
– Cultural Diversity and Resilience (keragaman dan ketahanan budaya)
– Good Governance (pemerintahan yang baik)
– Community Vitality (vitalitas masyarakat)
– Ecological Diversity and Resilience (keragaman dan ketahanan ekologi)
– Living Standards (standar hidup)
Indeks GNH secara umum merefleksikan kebahagiaan dan kualitas hidup yang lebih akurat dan luas daripada pengukuran secara moneter.
Konsep tersebut menyiratkan bahwa untuk menjadi negara yang warganya berbahagia, perlu keseimbangan di berbagai sisi kehidupan.
Suatu negara yang dikatakan maju dengan pendapatan kapital yang banyak serta tingkat konsumsi yang tinggi tidak menjamin warga negaranya akan bahagia.
Dengan demikian, sudah selayaknya pencapaian dan fokus pada kualitas hidup serta pencarian kebahagiaan yang berbentuk non materi lebih diutamakan dari kepemilikian materi, konsumsi dan produksi.
Indeks kebahagiaan dengan nilai tinggi salah satu caranya akan diperoleh bila rata-rata individu telah mampu memenuhi kebutuhan individunya.
Setidaknya terdapat beberapa kebutuhan dasar menurut Maslow sebagaimana dikutip oleh Siagian (2002) yang terdiri dari :
– Kebutuhan fisiologis
– Kebutuhan akan rasa aman
– Kebutuhan Sosial
– Kebutuhan yang mencerrminkan harga diri
– Kebutuhan aktualisasi diri
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih tinggi untuk diberikan kepada jenjang pemerintahan daerah di bawahnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai aspirasi, tingkat kebutuhan, serta kemampuan masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat yang lebih baik serta bertujuan agar pelaksanaan pembangunan yang dilakukan di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga setiap daerah tetap melaksanakan pembangunan sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan di hirarki pemerintahan diatasnya.
Konsep awal pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum yang telah ditetapkan sebagai wujud reformasi birokrasi, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah wewenang yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Salah satu kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah adalah pengelolaan wilayah, termasuk didalamnya pengelolaan aspek lingkungan. Agar terjadinya kesinambungan antara rencana dan realisasi, serta tidak terjadi bongkar pasang konsep, maka disusunlah sebuah desain umum pernecanaan jangka panjang yang dinamakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagaimana tercantum dalam pasal 14 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa :
“Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang wilayah merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.”
Selanjutnya hal yang mengatur tentang RTRW terdapat pada pasal 11 UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang berbunyi :
“Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki wewenang dalam penyelenggaraan penataan ruang yang antara lain meliputi pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.”
Tata pemerintahan daerah di Indonesia mengenal 2 istilah yaitu Kabupaten dan Kota.
UU Nomor 32 Tahun 2004 membagi daerah kabupaten atau kota dengan provinsi secara berjenjang, sebagaimana terdapat pada pasal 2 ayat 1 sebagai berikut:
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.”
Ketentuan ini sesuai dengan pasal 18 ayat 1 Perubahan Kedua Undang-Undang 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Wilayah kota pada hakekatnya merupakan pusat kegiatan ekonomi yang dapat melayani wilayah kota itu sendiri maupun wilayah sekitarnya. Untuk dapat mewujudkan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan ruang sebagai tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial budaya, kota perlu dikelola secara optimal melalui suatu proses penataan ruang.
RTH sangat penting, mengingat tumbuh-tumbuhan mempunyai peranan sangat penting dalam alam, yaitu dapat dikategorikan menjadi fungsi lansekap (sosial dan fisik), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi estetika (keindahan).
Berdasarkan kepada fungsi utama RTH dapat dibagi menjadi :
– Pertanian perkotaan, berfungsi untuk mendapatkan hasil produksi guna dikonsumsi yang disebut dengan hasil pertanian kota seperti hasil hortikultura.
– Taman kota, mempunyai fungsi utama untuk keindahan dan interaksi sosial
– Hutan kota, mempunyai fungsi utama untuk peningkatan kualitas lingkungan.
Menyikapi masih jauhnya persentase antara luas RTH dengan luas wilayah saat ini berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Pertamanan tahun 2007, hanya memiliki total RTH Publik 13,14 % dari luas wilayah Kota Bandung, maka Walikota Bandung periode 2013 – 2018 melakukan langkah-langkah yang berbeda dengan para pendahulunya.
Pada periode-periode sebelumnya, pemerintah kota lebih menitikberatkan pada keberadaan taman kota saja, tanpa terlalu memperhatikan fungsi dari taman tersebut, sehingga walaupun keberadaan taman sudah ada sejak dulu, namun rasa kepemilikan warga kota terhadap taman tersebut tidak begitu terlihat.
Dengan demikian, tugas utama pemerintah kota adalah mengelola taman yang sudah ada agar memberi manfaat langsung kepada masyarakat serta keberadaannya dapat dirasakan, serta membangun kembali taman baru agar mencapai batas minimal 30 % dari luas wilayah sebagaimana diatur Undang-undang.