• 13/04/2020

7 Warna Pelangi #31

Ikuti Kata Hati

oleh : Usep Saepullah

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu melepaskannya perlahan. Lega. Kiranya Zaki lah makhluk yang keluar tengah malam itu. Ia mengenakan peci berwarna coklat yang ukurannya pas kepala sehingga terlihat botak dalam siluet. Otot pundak yang besar itu ternyata sajadah yang ia sampirkan di lehernya. Ia mendekapkan kedua tangannya hingga tidak terlihat olehku. Kaki bersarung itu terlihat aneh dalam bayangan siluet tadi.

“Dari mana, Zak?”

Tanyaku begitu ia duduk di bangku depan kamar. Pertanyaan yang tidak perlu kutanyakan memang, karena aku sudah bisa menebak apa yang sudah ia kerjakan di tempat gelap itu. Shalat tahajjud.

Sebagian penghuni Negeri Atap Awan mempunyai kebiasaan unik yang jarang dilakukan oleh santri lainnya. Mereka kerap kulihat shalat tahajjud di atas ke gedung. Beralaskan sajadah dan beratapkan langit berbintang, dengan udara pendingin alami, angin malam. Mereka bercengkrama dengan Sang Pencipta hingga beberapa menit sebelum adzan shubuh. Tapi, hanya Zaki yang melakukannya pada jam satu dini hari.

“Belum tidur, Sep?”

Zaki tidak menjawab pertanyaanku tadi, ia malah balik bertanya sambil membuka-buka kitab yang sudah ada di tangannya.

“Baru bangun. Tidak bisa tidur lagi.”

Selanjutnya Zaki sudah terhanyut dalam bacaannya di bawah lampu yang hanya lima belas watt itu. Agaknya aku mulai bisa menguak tabir tentang penyakit tidurnya yang sudah akut itu. Aku telah salah sangka padanya, mungkin teman-temanku yang lain juga. Aku menyesal, aku merasa berdosa sudah menganggap Zaki memiliki penyakit aneh. Tukang tidur.

Mungkin, seperti inilah kebiasaannya setiap malam, bangun dini hari, shalat tahajjud, lalu dilanjutkan dengan belajar. Setengah jam sebelum shalat shubuh, atau lebih tepatnya, ketika santri-santri mulai bangun, ia tidur kembali. Karena yang kutahu, setiap aku bangun sebelum shubuh, ia kudapati dalam kondisi tertidur, ia baru bangun setelah ustadz Dzul menggedor-gedor pintu kamar beberapa menit setelah shubuh.

“Tentang ucapanmu waktu itu, Zak.”

Aku membuka pembicaraan.

“Ucapanku yang mana?”

“Tentang belajar yang membuat stress itu.”

Aku tidak mengingat persis ucapan Zaki, tapi kira-kira seperti itu maknanya.

“Ooh yang itu.”

Zaki menutup kitabnya sambil mengubah posisi duduknya, sebelah kakinya ia angkat, lalu ia letakkan telapak kakinya di atas bangku. Badannya menyender dinding kamar. Terlihat santai sekali.

“Belajar itu menyenangkan, Sep.”

“Memang menyenangkan, lalu?”

“Lalu kenapa ente terlihat stres ketika menghadapi ujian?”

Aku tertegun. Zaki menganggapku stres. Aku seperti terhakimi atas kesalahan yang tidak pernah kulakukan. Egoku ingin menolak tuduhan itu. Tapi hati kecilku membenarkan ucapan Zaki itu. Betul, aku memang stres. Tapi salahkah aku jika ingin mendapatkan nilai yang bagus, lalu salahkah aku bila aku ingin mendapatkan ranking tertinggi.

“Tujuannya Ranking?”

Aku mengangguk. Agaknya Zaki bisa menebak jalan pikiranku. Ia tersenyum, agaknya seperti senyum meremehkan. Aku tidak suka senyum seperti itu.

“Apa ranking bisa menjamin sukses di masa depan?”

Pertanyaan Zaki berikutnya membuatku lupa pada senyum yang tidak kusuka itu. Aku terdiam cukup lama. Memikirkan jawaban dari pertanyaan itu. Memang tidak perlu dijawab, tapi harus kurenungkan. Rasanya pertanyaan itu pernah kudengar. Betul, pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh wali kelasku ketika hari pertama belajar.

Aku masih berpikir keras. Jika aku ranking satu, siapa yang berani menjamin kehidupanku di masa datang akan sukses. Tidak ada sama sekali yang berani menjamin itu. Bahkan mungkin ranking satu itu akan jadi beban moral bagiku. Itu terjadi jika aku mendewakan ranking.

“Apa ranking akan berguna untuk ummat?”

Pertanyaan berikutnya semakin memojokkan aku. Ucapannya kali ini tidak bisa kusangkal. Umat memang tidak akan pernah bertanya tentang prestasi akademisku. Umat tidak membutuhkan nilai sembilanku. Mereka membutuhkan ilmuku, bukan raport dengan ranking satu. Umat membutuhkan uluran tanganku, bukan lembaran piagam penghargaan. Suatu hari nanti, mungkin raport dan piagam penghargaanku itu hanyalah akan jadi lembaran usang yang tidak bernilai.

“Apa ente ingin membuat orang tua bangga?”

Pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Siapapun pasti ingin membuat orang tua bangga. Termasuk aku.

“Ranking hanya akan membuat kebanggaan semu. Karena kebanggaan orang tua yang sebenarnya adalah setelah lulus nanti, ketika ente menjadi orang yang berguna untuk ummat nanti kelak.”

Aku masih terdiam. Betul yang Zaki ucapkan. Ranking hanyalah kebanggaan semu yang akan mudah dilupakan. Di masa depan title ranking satu itu tidak akan berguna sama sekali, bahkan untuk melamar pekerjaan sekalipun.

“Apa yang ente suka, Sep?”

“Maksudmu?”

“Hobby, atau sesuatu yang bisa bikin ente senang.”

Aku pun tertegun lagi. Agaknya aku telah melupakan semua hobbyku, melupakan segala sesuatu yang membuatkan gembira. Kuaduk-aduk memoriku, mulai dari sekarang lalu mundur ke belakang, hingga masa sebelum SD, bahkan sebelum aku bisa mengenal huruf.

Pada tingkat Mu’allimien, kutemukan kegembiraan ketika bergaul dengan teman-teman di Negeri Atap Awan. Lalu pada tingkat Tsanawiyyah aku merasa senang jika sedang belajar kaligrafi, matematika, ilmu waris dan ilmu falaq. Tidak heran jika pada pelajaran-pelajaran tadi aku selalu mendapatkan nilai sempurna. Waktu itu juga aku suka sekali menulis diary seperti yang Irvan lakukan sekarang. Selebihnya aku selalu dilanda stess berat.

SD, aku tersenyum jika mengingat masa itu, masa terindah dalam hidupku, waktu itu belajar sangat menyenangkan, sama sekali tidak membebaniku. Meski aku dicecoki dengan jamu pahit pencerdas itu, tujuannya bukanlah agar aku mendapat ranking, tapi agar aku bisa menjawab pertanyaan ujian dengan benar. Kiranya rankinglah yang telah membuatku stress dalam belajar.

Sebelum SD, aku sudah belajar berjualan, meskipun lingkup jualanku hanya rumah, rumah paman dan rumah nenek. Menginjak usia SD aku sudah berani berjualan keliling kampung. Semua kegiatan yang menyenangkan itu berhenti ketika aku masuk Tsanawiyyah, sejak aku ranking satu.

“Lalu aku harus bagaimana, Zak?”

“Ikuti kata hati, kerjakan yang ente suka, selama tidak bertentangan dengan aturan Allah dan RasulNya.”

Aku terhenyak, tersadar dari kegalauan hati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *