
7 Warna Pelangi #35
Ternyata Belajar itu Menyenangkan
oleh : Usep Saepullah
Sisa hariku di pesantren hanya tinggal beberapa bulan, aku akan mempergunakan sisa waktu itu sebaik-baiknya, aku harus terus mencari ilmu dan menimba pengalaman sebanyak-banyaknya dari berbagai macam karakter teman-temanku, bukan lagi mengejar ranking seperti dulu.
”Ayo Sep, kita let’s go?”
Gaya sekalli Iwan ketika ia berteriak mengajakku pergi berjualan.
Hari itu aku mencoba mengikutinya berjualan jaket ke pasar, terminal dan beberapa tempat lainnya. Mungkin, kalau di kantor-kantor ibaratnya magang. Kulakukan hanya satu kali, karena aku memang hanya ingin merasakan bagaimana rasanya berjualan seperti Iwan. Ia memang hebat, meskipun ia sudah mendapatkan orderan besar. ia tetap tidak ingin meninggalkan langganan lamanya selama ia masih memiliki waktu.
Sejak percakapanku dengan Nurrahman Zaki dini hari itu, aku semakin mantap menatap masa depan. Ranking yang dulu begitu membanggakan, bagiku kini hanyalah hiasan angka yang tidak memiliki arti sama sekali. Tekanan belajar yang sangat memberatkan itu, kini terasa ringan.
Tidak ada persaingan di antara kami, tidak seperti yang kurasakan sewaktu di pesantren lamaku. Sekarang aku tidak peduli siapapun yang akan mendapat ranking pertama. Bahkan jika Iwan yang nilai ujiannya selalu mengkhawatirkan mendapat ranking satu. Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah masa depanku. Akan menjadi apa aku nanti di masa yang akan datang.
Setiap pulang sekolah aku mampir ke perpustakaan, atau terkadang ke koperasi untuk membeli buku baru yang kusukai. Setiap malam setelah isya akupun mulai terlibat lagi dalam diskusi-diskusi ringan yang menyenangkan.
Tidak ketinggalan aku ikut kursus Bina Jurnalistik yang diadakan oleh Forum Penulis Alumni Mu’allimien Bentar. Irvan pun kuajak ikut bergabung. Hobinya menulis di buku diary itu harus disalurkan.
Bolos hari minggu pernah beberapa kali kulakukan. Aku ikut Rais ke Bandung untuk menghadiri acara-acara seminar dan bedah buku. Pihak pesantren pun malah mengijinkan acara bolos kami itu. Selama ini, bolosnya Rais atas sepengetahuan pihak pesantren. Aku baru percaya, ternyata Rais bolos bukan semata-mata bolos seperti yang kubayangkan, tapi ia datang ke berbagai acara seminar dan bedah buku. Bahkan untuk beberapa acara, ia bagian dari panitianya. Di samping itu, ia juga aktif di beberapa kegiatan yang selalu diadakan pada hari minggu.
Taufik terus mengasah keahliannya dalam main sepak bola, sementara Purnomo masih sebulan sekali masih bolos untuk acara yang tidak pernah ia ceritakan. Sedangkan Zaki tetap dengan kegiatan pribadinya itu. Tidur pulas siang hari dan belajar dini hari. Uniknya, hanya aku yang tahu.
Aku tidak pernah stress lagi. Aku benar-benar bahagia. Ternyata benar kata Zaki, belajar itu sangat menyenangkan dan beberapa bulan itu hanya terasa sebentar.
Hingga tidak terasa telah tiba masa ujian akhir. Kami lalui semuanya dengan mudah, tanpa tekanan sedikit pun. Tidak terasa, hari perpisahan segera tiba.